Ringkasan asal usul paksi pak marga Liwa di Lampung Barat beserta sistem pemerintahan yg digunakan. Ditulis langsung oleh pewaris yg sesungguhnya, menarik untuk disimak. Semoga bermanfaat

Paksi Pak Marga Liwa Lampung Barat

Paper stack border

Dalam pemilihan, pemenangnya adalah Abdoel Rahman dari Negeri Agung. Dengan demikian maka&nbsp; jabatan Pesirah digantikan oleh Abdoel Rahman. Atas restu Belanda, Abdoel Rahman diberi gelar/adok Pengiran&nbsp; dan lazim dikenal sebagai Pengiran Abdoel Rahman. Setelah habis masa jabatan Pengiran Abdoel Rahman, dilakukan pemilihan pesirah kembali dengan calon: 1. Dari suku tengah	:&nbsp; Johan bin&nbsp; Ma’ruf 2. Dari suku unggak	:&nbsp; Mhd&nbsp; Athorid&nbsp; bin Abdoel Rahman Pemenangnya Mhd Athorid,&nbsp;dan kemudian menjadi&nbsp; Pesirah marga Liwa, menggantikan ayahnya&nbsp; Pengiran Abdoel Rahman. Setelah Jepang masuk, kedudukan Pesirah dijabat oleh M. Zawawi yang sebelumnya adalah juru tulis dari Pesirah Mhd Athorid. Setelah merdeka, jabatan&nbsp; Pesirah digantikan oleh M.Zaini&nbsp; (keluarga Raja Persi-Serbaya) berkedudukan di Pasar Liwa.

Misc texture 1

Penulis: Ir. Syamsul A Siradz, M. Sc., Ph. D. ( Suntan Indrajaya Simbangan Tuala Paksi di Marga I )

Asal-Usul PAKSI PAK MARGA LIWA Balik Bukit, di Lampung Barat

Sejarah Negeri LIWA - Lampung Barat

Stars pattern

Pendahuluan Warahan dalam Bahasa Lampung bermakna hikayat, cerita, atau sejarah asal usul suatu kaum atau suatu peristiwa di masa lampau disampaikan secara lisan. Dalam bentuk tertulis, warahan disebut “tambo.” Huruf “r” dalam Bahasa Lampung diucapkan seperti “gh atau kh”, misal menyebut nama: &nbsp;Ratu Junjungan Marga, Raja Pemuka Adat, Radin Kebilang; menyebut nama tempat: atar kudan, Sukamarga;&nbsp; radu rua bingi mak ratong (penulisan yang benar bukan khadu khua bingi mak khatong).&nbsp;&nbsp; Warahan sering disampaikan orang-orang tua, misalnya kakek atau nenek kepada cucunya di malam hari sambil&nbsp; cucu memijat sang kakek atau nenek. Isi warahan berupa kisah zaman dahulu berisi nasihat agar anak atau cucu bersikap dan berbuat baik dan takzim kepada orang tua, agar menjadi anak soleh&nbsp;taat beragama, atau dapat juga berupa cerita jenaka seperti kancil dan buaya sehingga sang cucu bergembira dan bersemangat mendengarkan warahan dan tidak terasa hampir satu atau dua jam memijat sang nenek.&nbsp;

Helix border

Rujukan 1. Anonim - Tambo Buay Tuala tuha di marga mangkuk di lamban Bandar Agung pekon Gedung Liwa , Balik Bukit, Lampung Barat 2. Batin Kemala, pelaku sejarah serta mendapat&nbsp; hikayat langsung dari Raja Normala, Personal Communication 3. KH Arif Mahya, sesepuh/Ulama marga Liwa-Lampung Barat,&nbsp; Personel Communication 4. Novan Adiputra - Marga Liwa, <a href="http://saliwanovanadiputra.blogspot.com/2013/05/sai-batin-marga-liwa.html">http://saliwanovanadiputra.blogspot.com/2013/05/sai-batin-marga-liwa.html</a> 5. Ahmad Syafe’i, <a href="http://kerajaanlampung.com/20150120/marga-marga-di-wilayah-sekala-brak/">Marga Marga Di Wilayah Sekala Brak</a>,&nbsp; <a href="http://kerajaanlampung.com/20150120/marga-marga-di-wilayah-sekala-brak/">http://kerajaanlampung.com/20150120/marga-marga-di-wilayah-sekala-brak/</a> 6. Novan Adiputra - Sai Batin Marga Liwa,&nbsp;&nbsp; <a href="http://saliwanovanadiputra.blogspot.com/2013/05/sai-batin-marga-liwa.html">http://saliwanovanadiputra.blogspot.com/2013/05/sai-batin-marga-liwa.html</a>

Chalkboard

Sejarah Negeri LIWA Lampung Barat Indonesia

Watercolor texture 1

Pemerintahan di Marga Liwa Pesirah sampai Kepala Negeri

Di Liwa, Rupa Rakin membuat pondok (sapu) di bawah pohon kayu besar. Tidak lama ia mendengar kokok ayam “beruga.” Setelah itu,&nbsp;ia segera membuat jerat dan akhirnya beruga tersebut bisa ditangkapnya. Kemudian datang juga beruga betina, dan sejak saat itu beruga berkembang biak sebagai peliharaan Rupa Rakin. Setelah beruga pertama yang ditangkap itu mati, beruga itu dikuburkan, dan kuburan beruga tersebut sekarang dikenal sebagai “keramat beruga.” Selang setelah kedatangan beruga, Rupa Rakin melihat ada serumpun padi yang kemungkinan dibawa oleh sang beruga. Padi inilah cikal bakal bibit padi pertama yang ditanam oleh Rupa Rakin di Liwa.&nbsp; Rupa Rakin kemudian membuat rumah. Setelah rumah selesai, ia pergi ke Haji Pemanggilan bermaksud mencari istri. Rupa Rakin kembali ke Liwa membawa istri yang adalah&nbsp; keponakannya sendiri, yaitu anak dari Naga Berisang, bergelar Ratu Menapik. Rupa Rakin dan Ratu Menapik berputra tiga orang; yang tua bernama Temu, yang kedua bernama Jaya, dan yang ketiga bernama Raja. Setelah wafat, Ratu Menapik dimakamkan di Semenapik, yang sekarang dikenal sebagai “Keramat Semenapik” (terletak dekat pekon Serbaya, Liwa).&nbsp;Makam ini dipercaya&nbsp;sebagai makam orang pertama yang bertempat tinggal di Liwa yang disebut Sai Mena Tepik, Kecamatan Balik Bukit-Liwa.

Misc texture 2

Pengaruh Islam di Pagaruyung Islam di Pagaruyung berkembang pada abad ke-16, pada awal abad tersebut hanya satu dari tiga raja Minangkabau&nbsp;yang sudah Islam. Perkembangan Islam di Pagaruyung melalui para musafir dan guru agama yg singgah, atau datang dari Aceh dan Malaka. Ulama Aceh, Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), memiliki murid bernama Syaikh Burhanuddin Ulakan yang dianggap penyebar Islam pertama di Pagaruyung. Kerajaan Pagaruyung berubah menjadi kesultanan Islam pada abad ke-17, dan raja Islam pertama dalam tambo adat Minangkabau bernama Sultan Alif, dinobatkan sebagai Sultan Pagaruyung, tahun 1560. Jadi, patut diduga bahwa empat putera raja Pagaruyung Maulana Umpu Ngegalang Paksi tiba di Skala Brak membawa Islam, terjadi paling cepat pertengahan abad ke-16 atau mungkin abad ke-17.&nbsp;

Dara Petak, diperisteri Raden Wijaya sedangkan Dara Jingga dinikahi oleh maha menteri yang melahirkan Adityawarman.&nbsp;Tahun 1339, Adityawarman dikirim ke Bhumi Melayu sebagai uparaja atau raja bawahan Majapahit, bertujuan memperluas daerah taklukan Majapahit. Adityawarman pada 1347, memproklamirkan diri sebagai Maharajadiraja dan menamakan kerajaannya Malayapura, beribukota Dharmasraya. Penaklukkan dilanjutkan ke pedalaman Minangkabau, hingga Tanah Datar&nbsp; yang kaya emas. Pada 1350, Adityawarman memindahkan pusat pemerintahan ke Tanah Datar,&nbsp;dan mendirikan kerajaan Pagaruyung, yang merupakan penyatuan beberapa kerajaan Melayu sebelumnya. Tersebut sebelumnya, pemicu pelarian puyang Nagaberisang bersaudara karena kekalahan dalam perang melawan Majapahit, dan yang berperang melawan Majapahit adalah kerajaan-kerajaan Melayu yang hakekatnya mempertahankan diri. Jadi, kuat dugaan bahwa puyang Nagaberisang bersaudara sebenarnya adalah hulubalang kerajaan Melayu yang ditaklukkan, bukan hulubalang Pagaruyung yang didirikan oleh Adityawarman.&nbsp;

Kesimpulan 1. Sebelum Belanda masuk Liwa, masyarakat adat marga Liwa merupakan kelompok mandiri dengan penyimbang adat Raja Persi, Raja Tuala, Raja di&nbsp; Ginting dan Raja Dipulau Langgar, lazim dikenal sebagai Paksi Pak marga Liwa yang tidak terkait dengan ke-buay-an manapun. Setelah Belanda masuk, yang ditandai dengan pembentukan marga Liwa, maka Liwa diletakkan dibawah pengawasan Sukau dan Sukau dibawah Ranau. 2. Peratin 12 dibentuk untuk melaksanakan fungsi sebagai pelaksana roda pemerintahan kolonial. Didalam struktur pemerintahan, peratin ditempat kan dibawah pesirah. &nbsp;Peratin 12 ini diberi gelar/adok Radin. 3. Istilah Marga, Peratin dan Pesirah adalah produk kolonial yang diguna kan&nbsp;sebagai piranti untuk menihilkan peranan dan pengaruh penyimbang adat.&nbsp;

Kecamatan Balik Bukit di utara berbatasan dengan Kecamatan Sukau dan Batubrak, di selatan dengan Kecamatan Way Krui, di timur dengan Kecamatan Batubrak, dan di barat berbatasan dengan Kecamatan Sukau. Kelompok masyarakat adat marga Liwa, dipimpin empat penyimbang adat yang dikenal sebagai PAKSI PAK MARGA LIWA:&nbsp;&nbsp; 1. Raja Persi (Suku Doh), Pekon Serbaya, Sukanegeri;&nbsp;&nbsp; 2. Raja Tuala (Suku Tengah), Pekon Gedung;&nbsp;&nbsp; 3. Raja di Ginting (Suku Tengah), Pekon Tengah; 4. Raja di Pulau Langgar (Suku Unggak), Pekon Negeri Agung.

Pemilihan Pesirah Sehubungan dengan&nbsp;perintah itu, Paksi Pak dan Peratin 12 bermufakat “ngunggakkon” (mendatangkan) Bustami dari Srikaya (Krui), yang masih mempunyai darah Pekuon (jelma ram jak Pekuon) dan masih ada hubungan puyang dengan Paksi Pak. Bustami bersedia “munggak”&nbsp;asal disediakan “pesabahan dan pari&nbsp;sang balai (lahan persawahan dan padi satu gudang)". Permintaan disanggupi oleh Paksi Pak dengan pengaturan: 1. Raja Tuala menyerahkan sabah Penyalahan dan pepulau Seranjangan 2. Raja Ginting menyerahkan ham (kolam) Rebutundun 3. Raja di Pulau Langgar&nbsp; menyerahkan 2 bidang sabah&nbsp; 4. Raja Persi bertugas menjemput Bustami dari Srikaya-Krui

Pencils border

Diuraikan di tambo, bahwa keempat raja di atas memiliki wilayah kekuasaan masing-masing. Raja Tuala misalnya, daerah kekuasaannya meliputi wilayah dari&nbsp; Way Sewani terus ke Teba Nitak, terus ke Telpung Kanduk sampai Tutung Sebatang, terus ke Siring Telaga, terus ke Halian Rubok, terus ke Way Pesasa, terus ke Pemuka Kanduk Hijau, terus ke Rulah Titi Pandan terus ke Ham Tebiu, terus ke Way Pancor Naga, terus ke arah Bukit Sepulang. Itulah daerah kekuasaan Raja Tuala. Konon, wilayah marga Liwa dimaksud di atas, termasuk bagian dari kerajaan Skala Brak kuno yang awalnya ditempati Suku Tumi yang menganut Hindu Bairawa (animisme). Diriwayatkan,&nbsp; Suku Tumi terusik akibat kedatangan empat orang Putera Raja Pagaruyung Maulana Umpu Ngegalang Paksi, yang tiba di Sekala Brak untuk menyebarkan agama Islam. Kekalahan Buay Tumi awal berdirinya Kepaksian Sekala Brak atau Paksi Pak Sekala Brak yang berasaskan Islam.

Kemudian datang Radin Mapah minta&nbsp; “tungguan” kepada Raja Tuala. Oleh Raja Tuala, ia diberi tanah basah (pesabahan) di perbatasan Telpung Kanduk&nbsp;dan tempat tinggal (perkampungan) di Seranjangan. Sesudah itu datang pula Radin Kelipah yang oleh Raja Tuala diberi pesabahan dan tempat perkampungan di Tanjung. Setelah itu datang pula Radin Sunguh minta tungguan kepada Raja Tuala. Oleh Raja Tuala, Radin Sunguh diberi pesabahan di Sabah Renoh dan tempat perkampungan di rumpun Kemandian Bumi Agung. Setelah itu datang pula seorang bujang dari Batubrak, yang oleh Raja Tuala dicarikan perempuan dan diberi pesabahan dan perkampungan di Banjar Agung. Setelah itu datang pula seorang bujang dari Way Serungkuk, dan oleh Raja Tuala diperlakukan sama seperti bujang dari Batubrak tadi. Tugas kedua bujang dari Batubrak dan Way Serungkuk itu adalah “tukang tangguh rik tumpak ni tangguh” dalam lingkungan kerajaan Tuala.&nbsp;

Leaf border

Catatan penulis:&nbsp; 1)..... Sinopsis ini disusun oleh Ir. Syamsul Arifin bin M. Siradz, M. Sc. Ph. D, gelar Suntan Indrajaya Simbangan Tuala Paksi di Marga I atas dasar tambo, silsilah dan warah dari ibunda Batin Kemala. Ibunda Batin Kemala&nbsp; yang bersama-sama dengan Bagus Radin (H. Jalil, ayah dari Raja Masyhur), Lamsinah, Habibah dan Rosidah mendengarkan langsung warah/cerita ini dari Raja Normala menjelang kepindahan Raja Normala ke Semaka (setelah peristiwa Gedung Mutung).&nbsp; 2)..... Riwayat ini diceritakan kembali oleh Batin Kemala kepada sang putra Syamsul A. Siradz sekitar tahun 1970. Batin Kemala wafat pada tahun 1984, berusia sekitar 80 tahun.&nbsp; 3)..... Keturunan Radin Mapah antara lain adalah Adenan (Banjar Agung);&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp; *) Keturunan Radin Kelipah antara lain adalah Kesidin (Tanjung);&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp; *) Keturunan Radin Sunguh antara lain adalah M Saleh (Sukanegeri);&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp; *) Keturunan Bujang Batubrak antara lain adalah A Karim (Tanjung);&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp; *) Keturunan Bujang Serungkuk antara lain adalah Mahdor&nbsp; (Langaman).&nbsp; *) Setelpung Kanduk adalah pepulau dekat sabah ni Daud (St Aisyah)&nbsp; *) Bebat – sabahni M. Jalinus.

Susunan Sangun Ratu berputra lima orang laki-laki, semuanya menjadi raja yang dikenal sebagai Paksi Pak kelima Way Nerima. Yang seorang jadi raja di Way Tuala, disebut Raja Tuala. Seorang lagi jadi raja di Ginting. Seorang lagi jadi raja di Pulau. Seorang lagi jadi raja di Serbaya, disebut Raja Persi. Dan seorang lagi jadi raja di Way Nerima.&nbsp; Raja Tuala berkedudukan di Gedung dengan wilayah kekuasaan yang meliputi daerah mulai dari&nbsp; Way Sewani, terus ke Teba Nitak, terus ke Telpung Kanduk sampai Tutung Sebatang, terus ke Siring Telaga terus ke Halian Rubok, terus ke Way Pesasa, terus ke Pemuka Kanduk Hijau, terus ke Rulah Titi Pandan, terus ke Ham Tebiu, terus ke Way Pancor Naga, terus ke arah bukit Sepulang. Itulah daerah kekuasaan Raja Tuala dilom pekon telu.&nbsp; Wilayah kekuasaan Raja di Ginting meliputi daerah Ginting sampai Bebat. Raja di Pulau meliputi Setelpung Kanduk sampai Way Keringking Sukamarga. Raja Persi yang berkedudukan di Serbaya mempunyai kekuasaan yang meliputi daerah Serbaya, Seranggas, dan Sehuok.&nbsp;

Parchment

Pendahuluan Masyarakat adat marga Liwa, adalah bagian masyarakat adat Lampung Pesisir di dataran tinggi bukit Sepulang, Balik bukit Lampung Barat,&nbsp;perkiraan sejak abad 14M. Wilayah ini dihuni oleh masyarakat adat dari keturunan leluhur tertentu, yang terikat dalam satu kekerabatan. Masyarakat adat marga Liwa dapat dipilah ke 3 suku; suku doh, suku tengah dan suku unggak, yang saat ini tersebar di 18 pekon wilayah Kecamatan Balik Bukit, Lampung Barat. Sebagian lagi bermukim di Bandar Lampung, Semaka, Liba, Kebun Tebu, Metro dan Waya. Masyarakat adat ini dipimpin oleh empat penyimbang adat yang dikenal sebagai Paksi Pak marga Liwa:&nbsp; 1. Raja Persi (suku doh), pekon Serbaya, Sukanegeri;&nbsp; 2. Raja Tuala (suku tengah), pekon Gedung;&nbsp; 3. Raja di Ginting (suku tengah), Pekon Tengah; 4. Raja di Pulau Langgar (suku unggak), pekon Negeri Agung;

Pagaruyung pra-Islam dan asal-usul Paksi Pak Marga Liwa Dalam tambo Buay Tuala marga Liwa, puyang Paksi Pak marga Liwa adalah tiga bersaudara hulubalang&nbsp;kerajaan ”Pagaruyung” yaitu Naga Berisang, Rakin Sakti, dan Rupa Rakin, yang melarikan diri akibat kekalahan Pagaruyung pada perang melawan Majapahit. Pagaruyung sebagai nama sebuah kerajaan Melayu tidak dapat diketahui secara pasti. Bila ditelusuri, pelarian puyang Nagaberisang bersaudara berkaitan erat dengan kerajaan Singhasari dan Majapahit. Tersebutlah, tahun 1275 Prabu Kertanegara dari Singhasari mengirim ekspedisi Pamalayu untuk menaklukan Bhumi Melayu, dipimpin Laksamana Kebo Anabrang. Setelah Kerajaan Melayu takluk, raja Melayu mengirim dua puterinya yaitu Dara Petak dan Dara Jingga untuk dinikahkan dengan Prabu Kertanegara sebagai tanda persahabatan. Tapi, pada saat itu terjadi pemberontakan oleh Jayakatwang, namun berhasil dipadamkan dengan bantuan pasukan Mongol. Raden Wijaya adalah menantu Prabu Kartanegara yang kemudian mendirikan kerajaan Majapahit.&nbsp;

Kita akan menyingkap asal usul penduduk masyarakat adat marga Liwa, Lampung Barat, bersumber dari tambo dan warah yang diterima penyimbang adat Buay Tuala marga Liwa. Buay Tuala adalah bagian dari masyarakat adat saibatin, yang keberadaanya di dataran tinggi Bukit Sepulang, Balik Bukit Lampung Barat, diperkirakan sejak abad ke 14 M. Wilayah ini dihuni oleh masyarakat adat dari keturunan leluhur tertentu yang terikat dalam satu kekerabatan.&nbsp; Masyarakat adat marga Liwa dapat dipilahkan ke dalam 3 suku, yaitu Suku Doh, Suku Tengah dan Suku Unggak yang tersebar pada 18 pekon dalam wilayah Kecamatan Balik Bukit, Lampung Barat. Sebagian lagi bermukim di Bandar Lampung, Semaka, Liba, Kebun Tebu, Metro dan Waya.

Akibat kekalahan kerajaan Melayu dari Majapahit, tiga bersaudara puyang Paksi Pak melarikan diri, awalnya mereka pergi ke Banten. Pelarian dari bumi Melayu diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-14,&nbsp;namun tak lama kemudian Banten jatuh ke tangan Majapahit. Atas usul raja Banten, ketiga puyang melarikan diri ke Palembang, ditemani oleh putera raja Banten. Tapi ternyata tidak terlalu lama kemudian, yaitu tahun 1377, Palembang juga jatuh ke tangan Majapahit. Ketiga puyang kemudian melarikan diri ke arah matahari terbit, dan akhirnya tiba di Lampung, di daerah Haji Pemanggilan. Tak lama kemudian, Rupa Rakin si bungsu dari tiga bersaudara tersebut minta izin meneruskan perjalanan. Rupa Rakin akhirnya sampai di Gunung Pesagi, kemudian dia berjalan mengikuti sungai dan akhirnya ia sampai di Ranau, ia kemudian terus ke Sukau, dan dari Sukau ia terus ke Liwa dan menetap di Liwa.&nbsp;

Catatan akhir / Pustaka 1. Kepaksian Skala Brak, <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Kepaksian_Sekala_Brak">https://id.wikipedia.org/wiki/Kepaksian_Sekala_Brak</a>; 14 Mei 2016 2. Tambo Buay Tuala, tuha di marga mangkuk di pekon Gedung, Liwa, Balikbukit, Lampung Barat. 3. Batin Kemala, pelaku sejarah serta mendapat&nbsp; hikayat langsung dari Raja Normala, Personal Communication 4. KH Arif Mahya, sesepuh/Ulama marga Liwa-Lampung Barat,&nbsp; Personel Communication 5. Sejarah Kerajaan Pagaruyung, 1347–1825 serta Pembagian Wilayah Darek dan Rantau,&nbsp; sejarahnusantara[dot]com/kerajaan-di-sumatera/sejarah-kerajaan-pagaruyung-&nbsp;&nbsp; 1347%E2%80%931825-serta-pembagian-wilayah-darek-dan-rantau-10019.htm 6. Ekspedisi Pamalayu, <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Ekspedisi_Pamalayu">https://id.wikipedia.org/wiki/Ekspedisi_Pamalayu</a> 7. Majapahit, <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit">https://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit</a> 8. Singhasari, <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Singhasari">https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Singhasari</a> 9. Dharmasraya, <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Dharmasraya">https://id.wikipedia.org/wiki/Dharmasraya</a> 10. Kerajaan Pagaruyung, <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Pagaruyung">https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Pagaruyung</a> 11. Irfan Anshory (2012), Aditywarman dan Pagaruyung,&nbsp; 12. Objek wisata religi provinsi Lampung, pariwisatalampung[dot] com/berita/8-jalur-wisata/257-objek-wisata-religi-provinsi-lampung.html

Temu bergelar Susunan Sangun Ratu, memegang kekuasaan di Liwa dan berkedudukan di Gedung. Jaya memegang kekuasaaan dan berkedudukan di Kembahang. Raja memegang kekuasaan dan berkedudukan di Sukau.&nbsp;&nbsp; Tak lama, si Jalan dari Haji Pemanggilan datang ke Liwan, yang oleh Susunan Sangun Ratu dikawinkan dengan Inang Ratu. Rakin Sakti (anak kedua dari tiga bersaudara keluarga Pagar Ruyung) datang ke Kembahang membawa lima lembar tikar. Dari lima tikar, selembar diberikan pada si Jalan, selembar diberikan pada si Jaya, selembar diberikan pada si Raja, selembar pada Sebelunguh. Selembar lagi diberikan pada Susunan Sangun Ratu, tapi Susunan Sangun Ratu menolak dengan mengatakan “apa guna saya tikar karena saya sudah raja di sini; berikan saja ini tikar kepada si Tali.”&nbsp;

Sejak keberadaannya, tata-pemerintahan, hubungan dan peristiwa adat dalam lingkungan masyarakat adat Liwa dikuasai dan di pandu secara apik oleh Paksi Pak di atas. Keadaan&nbsp; ini berlangsung sampai kekuasaan Belanda masuk di Liwa yang ditandai oleh pembentukan marga Liwa pada tahun 1861. Pembentukan marga Liwa oleh Belanda diperkuat dengan Besluit Residen Van Bengkulen 21 Mar 1862 No. L.2. Marga dipimpin oleh seorang kepala marga yang dikenal dengan sebutan Pesirah. Pesirah marga Liwa yang pertama adalah Pengiran Indrapati Cakranegara (keturunan Buay Nyerupa) berkedudukan di pekon Negeri Agung. &nbsp;Sejak saat itu sampai akhir masa penjajahan, Liwa oleh Belanda diletakkan dibawah pengawasan Sukau dan Sukau dibawah pengawasan Ranau.

Kesimpulan 1). Nenek moyang Paksi Pak marga Liwa (puyang Nagaberisang bersaudara) diduga kuat adalah hulubalang kerajaan Melayu yang ditaklukkan oleh Aditywarman uparaja Majapahit, bukan hulubalang kerajaan Pagaruyung. 2). Paksi Pak marga Liwa sudah ada dan mastutin di dataran tinggi Sepulang-Balikbukit, Liwa sejak awal abad ke-15, &nbsp;jauh sebelum terjadinya migrasi Buay Tumi keluar dari Skala Brak (pertengahan abad ke-16). 3). Sampai sebelum zaman penjajahan Belanda, masyarakat adat marga Liwa merupakan kelompok mandiri dengan penyimbang adat Raja Persi, Raja Tuala, Raja Ginting, dan Raja di Pulau Langgar, lazim dikenal sebagai Paksi Pak Liwa yang keberadaannya tidak terkait dengan kebuayan lain &nbsp;mana pun. Setelah Belanda masuk, yang ditandai dengan pembentukan marga Liwa pada 1861, maka Liwa diletakkan di bawah pengawasan Sukau, dan Sukau di bawah pengawasan Ranau.

Bustami selanjutnya diangkat menjadi&nbsp; Pesirah marga Liwa, oleh Paksi Pak diberi adok Batin Tuha yang oleh pihak Belanda disebut Pengiran Lunik. Pertama kali sampai di Liwa, Bustami dan keluarganya “tumpak Lamban-ni (rumah) Raja Persi”, setelah itu pindah ke lamban Bandar Agung (lambanni Raja Tuala) di pekon Gedung, kemudian pindah ke “pavilliun”&nbsp;ni lamban Kerajinan. Bersamaan itu dibangun lamban Pekuon&nbsp;di pekon Gedung Asin (Langaman),&nbsp;dan setelah selesai Batin Tuha dan keluarganya pindah dan menetap untuk seterusnya.&nbsp; Batin Tuha merasakan perlakuan penjajah yang sangat tidak bisa diterima,&nbsp;sehingga menimbulkan konflik yang berujung Batin Tuha meletakkan jabatan Pesirah. Sebagai gantinya, atas perintah Belanda dilakukan pemilihan Pesirah baru dengan calon: 1. Dari suku tengah	:&nbsp;Ma’ruf bin Bustami, dan Amir bin Bustami&nbsp; 2. Dari Suku Unggak	:&nbsp;Abdoel Rahman

Setelah Pemilu tahun 1955, sistem “Pesirah” peninggalan Belanda di hapuskan dan digantikan oleh system “Negeri”, dipimpin oleh seorang Kepala Negeri. Kepala Negeri Pertama dijabat M. Arsyad Siradj, keturunan dari adik perempuan Batin Tuha.&nbsp; M Arsyad Siradj menjabat Kepala Negeri Wilayah Kecamatan Balik Bukit&nbsp; Kabupaten Lampung Utara mulai tahun 1956. Setelah selesai, M Arsyad diganti oleh Kepala Negeri yang kedua yaitu Muslim dari Kenali. Setelah masa jabatan Muslim berakhir, maka berakhir pula pemerintahan sistem Negeri di marga Liwa. Pemerintahan daerah kemudian dilaksanakan oleh Pemerintahan Daerah Tingkat III (Dati III), dipimpin oleh Camat sampai sekarang.

Peratin 12 Karena tidak senang dan tidak mau tunduk kepada penjajah, ke-empat raja dari Paksi Pak tidak mau menerima jabatan apapun atas tunjukan Belanda. Karenanya, Paksi Pak membentuk Peratin 12 sebagai pembantu pelaksana harian pemerintah (pemerintahan kolonial).&nbsp; Pada pemerintahan kolonial, peratin ditempatkan dibawah pesirah. Peratin 12 diberi gelar/adok Radin. Peratin 12 terdiri dari 3 peratin dari suku doh, 6 peratin dari suku tengah, dan 3 peratin dari suku unggak.&nbsp; Berikutnya, jabatan Pesirah diturunkan dari Pengiran Indrapati Cakranegara kepada anak pertamanya, Si Jaya dengan adok&nbsp;&nbsp;Pangeran Kemala Raja (Besluit Residen Bengkulen No. 4090 tertanggal 15 Oktober 1881). Namun Pangeran Kemala Raja pindah ke Semaka, dan menjadi Pesirah Negara Batin Semaka. Kepindahan ini menimbulkan kekosongan pemerintahan, Belanda memerintahkan&nbsp; agar dilakukan pemilihan Pesirah yang baru.