Revitalisasi cerita Situ Gede di Tasikmalaya

Revitalisasi Cerita Situ Gede

Setelah itu, menentukan alur peristiwa yang dipilih untuk direkonstruksi. Hal ini berkaitan dengan sudut pandang penulis cerita yang fokus pada satu pokok permasalahan. Kemudian menentukan latar dan peristiwa awal untuk memulai cerita. Selanjutnya melakukan deskripsi latar dan peristiwa. Selanjutnya menghadirkan tokoh dan memberi karakter tokoh melalui deskripsi tokoh. Lalu membuat dialog antartokoh agar peristiwa menjadi lebih hidup. Dialog antartokoh dapat memuat penggambaran tokoh lain, penuturan peristiwa yang dialami tokoh, atau latar. Dalam membuat cerita pendek perlu memerhatikan keutuhan peristiwa, kemunculan konflik, dan leraian/penyelesaian peristiwa.&nbsp;

Dahulu kala di tanah Priangan, hiduplah seorang bernama Eyang Prabu Adilaya. Eyang Prabu Adilaya adalah seorang yang tekun dan gigih belajar ilmu agama. Ia memiliki paras yang tampan dan lembut. Senyumnya membawa ketenangan bagi siapa pun yang melihatnya. Tubuhnya tidak kekar, tapi gagah. Ia seorang yang penuh wibawa dan karismatik. Ia pun memiliki watak yang taat dan rajin. Ia tekun dalam belajar agama dan pemerintahan. Namun ia lebih memilih ilmu agama daripada ilmu pemerintahan. Ketekunannya dalam belajar agama tak mengenal waktu. Siang atau malam dilaluinya dengan mempelajari ilmu agama.&nbsp; Suatu hari, Eyang Prabu Adilaya memutuskan untuk belajar agama ke tanah Jawa. Ia belajar di sebuah pesantren yang dipimpin Kiai Jawa Raga. Selama belajar, Eyang Prabu Adilaya menunjukkan kemampuannya belajar dengan baik. Hingga suatu hari, Kiai Jawa Raga berkata kepada Eyang Prabu Adilaya. “Adilaya muridku, kamu sudah cukup umur untuk menikah. Apakah saat ini kamu memiliki seseorang yang kau cintai dan ingin kau nikahi?” tanya Kiai Jawa Raga. “Tidak, Kiai. Kekasihku hanya Allah, tak ada yang lain,” jawab Eyang Prabu Adilaya.

“Lupa? Kita adalah istrinya, mengapa Kanda tega seperti itu? Kanda jahat, Yunda!” “Kau benar, Dinda. Kau benar. Dia tega, dia tega melupakan kita. Dia tega tidak membahagiakan kita. Dia tega kepada kita, dia tega, dia tega kepada kita, dia tega….” Tanpa sadar, Sekar Rembong mengulang-ulang perkataannya. “Mengapa Kanda Adilaya tega seperti itu, Yunda? Apa salah kita? Apa salahku?” Tanya Sekar Rembong seraya menangis. “Kau benar, Dinda. Kanda Adilaya tega. Dia tega membiarkan kita. Dia tega kepada kita!” Sekar Rembong berkata-kata dan pandangannya menerawang entah ke mana. “Kanda Adilaya jahat!” “Kau benar, Dinda. Kanda Adilaya tega. Kanda Adilaya tega. Kanda Adilaya jahat…. Kanda Adilaya jahat…. Dia jahat!” Sekar Rembong berkata sambil menatap tajam Sembah Dalem. “Yunda….” “Dia jahat, dia harus mendapatkan akibatnya!” “Yunda….” “Kau mau bahagia Sembah Dalem?”

“I… iy… iyaaa.... Yunda.” “Bagus, kita harus bahagia, kita akan bahagia.” “Ttaapppiiii…. Bagaimana caranya bahagia, Yunda?” “Sini!” Sekar Rembong menarik tubuh Sembah Dalem dan membisikkan sesuatu. “Yuundaaa…. Tapi itu…..” “Kenapa kau takut, Dinda? Kau tak mau bahagia? Kau takut? Ingat dia tidak pernah membahagiakan kita, jadi kita harus menciptakan kebahagiaan itu, Dinda.” “Tapi Yunda…..” “Dengar aku, kita akan melakukannya bersama-sama. Kita akan berhasil. Percaya padaku!” Eyang Prabu Adilaya masih tertidur dengan lelap. Ia tak mendengar obrolan istrinya. Ia tak tahu obrolan istrinya. Ia tidur dengan pulas dan tenang. Sementara itu, Sekar Rembong dan Sembah Dalem telah berada di samping Eyang Prabu Adilaya. Sekar Rembong berada di samping kanan dan Sembah Dalem di samping kiri.&nbsp;Sekar Rembong menatap wajah Eyang Prabu Adilaya yang bercahaya. Malam itu, suaminya tampak begitu tampan dari biasanya. Sembah Dalem mengusap kepala Eyang Prabu Adilaya sambil tersenyum. Tanpa terasa, ia meneteskan air mata Ketika mengusap kepala suaminya itu.&nbsp;

“Carilah bukit yang bersinar. Di sanalah aku ada.” Keesokan harinya, bersama dua pengawal, Ibunda Ratu mencari bukit yang dimaksud. Setelah berhari-hari mencari, akhirnya ia menemukan bukit yang bersinar. Ia menemukan kuburan anaknya dan dua kuburan lain di samping kuburan anaknya. Ia menangis tanpa henti. Air matanya mengalir dengan deras hingga membanjiri area tersebut dan membentuk sebuah danau. Kemudian ia memerintahkan dua pengawalnya menjaga danau dan makam anaknya. Berubahlah kedua pengawal itu menjadi ikan mas dan ikan gabus yang dikenal dengan Si Layung dan Si Kohkol. Ibunda Ratu bersumpah, barangsiapa mengganggu dan merusak area danau, maka ia merusak makam anaknya. Barangsiapa yang melakukan itu, akan mendapatkan ganjaran dari Si Layung dan Kohkol.&nbsp;

a.&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;Dongeng Animasi Dongeng animasi disajikan dalam bentuk animasi bergerak yang dilengkapi dengan audio suara dan lagu. Bentuk dongeng animasi lebih menarik karena bentuk karakter yang seolah-olah hidup. Dongeng animasi mengandung beberapa nilai yang berkaitan dengan kecerdasan emosional karena dongeng animasi ini mempengaruhi kecerdasan emosional anak yang menonton dan menyimak dongeng (Nuraina, 2018, hlm. 315). Dalam membuat dongeng animasi, perlu diperhatikan nilai-nilai kearifan lokal yang dimuat dalam dongeng, terbuka dengan adanya gubahan-gubahan, dan mampu dijangkau masyarakat luas (Khasanah, 2018, hlm, 3).&nbsp; Dongeng animasi dilakukan dengan melakukan pemilihan cerita terlebih dahulu. Setelah itu, dilakukan penyusunan naskah dongeng secara utuh. Kemudian, dilakukan perekaman cerita dalam bentuk audio. Ketika melakukan perekaman audio visual, pendongeng menuturkan cerita. Selanjutnya, ilustrator membaca naskah cerita untuk memahami peristiwa dan tokoh yang akan digambarkan dalam bentuk visual sebagai ilustrasi peristiwa. Ilustrator bertugas memberikan pendekatan artistik berupa tampilan ilustrasi, animasi, tata letak agar membuat dongeng animasi menjadi menarik (Setyadi, 2017, hlm. 85). Tahap pendekatan artistik dimulai dengan membuat story board, asset, coloring, voice over, dan musik.&nbsp;

Transkrip Dongeng Audio Situ Gede

Pada zaman dahulu, hiduplah seorang bernama Eyang Prabu Adilaya. Ia dikenal sebagai ulama yang tekun dan gigih berdakwah untuk menyebarkan ajaran agama. Ia sangat rajin belajar ilmu agama hingga tak kenal waktu. Siang-malam ia gunakan untuk belajar ilmu agama dengan gurunya yang bernama Kiai Jawa Raga. Pada suatu hari, Eyang Prabu Adilaya mendapat perintah dari gurunya untuk menikahi anaknya yang bernama Sekar Rembong. “Adilaya muridku, bagaimana jika kau kunikahkan dengan anakku, Sekar Rembong. Kulihat kau menyukainya dan anakku juga menyukaimu.” Eyang Prabu Adilaya bersedia untuk menikahi Sekar Rembong sebagai bakti kepada gurunya. Akhirnya mereka pun menikah. Tak lama berselang, Eyang Prabu Adilaya menyatakan niatnya untuk belajar agama ke tanah Jawa. Maka pergilah ia bersama istri dan emban bernama Silihwati. Setibanya di tanah Jawa, mereka menuju sebuah pesantren yang terkenal. Mereka pun menetap di sana dan Eyang Prabu Adilaya belajar ilmu agama selama beberapa bulan. Di tempat ini, kejadian serupa terjadi lagi. Eyang Prabu Adilaya diminta oleh gurunya untuk menikahi putrinya yang bernama Sembah Dalem.

“Adilaya, akan aku nikahkan kau dengan anakku, Sembah Dalem. Apakah kau bersedia?” Lagi-lagi, Eyang Prabu Adilaya tak bisa menolak perintah gurunya. Akhirnya ia menikah dengan Sembah Dalem dan mempunyai dua istri.Sekar Rembong dan Sembah Dalem kemudian menjadi seperti kakak dan adik. Keduanya sangat akrab. Suatu hari, Eyang Prabu Adilaya mengutarakan keinginannya untuk berdakwah di tanah kelahirannya. “Dinda-dindaku, aku ingin berdakwah di tanah kelahiranku. Aku ingin kalian merestui dan membantuku dalam melaksanakan tugas mulia ini.” Kedua istrinya setuju dan mereka memutuskan untuk pergi esok hari.Keesokan harinya, semua pergi. Mereka pergi bersama emban yang bernama Silihwati dan Sagolong. mereka berjalan berhari-hari menuju tanah kelahiran Eyang Prabu Adilaya. Setibanya di perbatasan Priangan, mereka memutuskan untuk beristirahat. “Dinda, lebih baik kita bermalam di sini saja. Hari sudah mulai gelap. Kita lanjutkan perjalanan esok hari. Kalian beristirahatlah. Aku akan tirakat terlebih dulu.” Kedua istri Eyang Prabu Adilaya memilih untuk mengobrol. Keduanya membicarakan sikap suami mereka yang dingin dan tidak romantis.

a.&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;Naskah Drama Drama bermula dari sebuah teks yang berupa karya sastra. Itu sebabnya drama tidak dapat dipisahkan dari unsur sastranya, baik berupa teks (naskahnya) maupun berupa teks lisan (dialog) yang diucapkan para aktor di atas panggung. Revitalisasi dalam bentuk naskah drama ialah salah satu bentuk revitalisasi perubahan genre sastra yang bermula dari prosa menjadi drama. Dalam membuat naskah drama, hal pertama yang dilakukan adalah menentukan cerita. Kemudian menentukan alur peristiwa, tokoh, dan karakter tokoh. Hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan naskah drama adalah adanya kramagung dan dialog atau monolog. Peristiwa dalam drama dibuat mulai dari pengenalan masalah, muncul konflik, dan penyelesaian masalah. Kemunculan masalah dalam drama ditandai dengan dialog atau monolog tokoh. Karakter tokoh dalam drama akan terlihat dari dialog yang dituturkan oleh tokoh itu sendiri atau oleh tokoh lain. Kadang-kadang, penulis naskah drama memberikan gambaran identitas atau karakter tokoh di bagian awal naskah yang memuat bagian para pemain.&nbsp;

Naskah Drama Eyang Prabu Adilaya - Google Drive

a.&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;Dramatic Reading Dramatic reading adalah meh sebagai salah satu revitalisasi cerita rakyat karena adanya aktor yang berperan dan dapat melibatkan emosi penonton/audiens. Dramatic reading memberi efek peristiwa akan terasa lebih hidup karena aktor membacakan naskah drama dengan cara berperan untuk merepresentasikan tokoh dengan nyata. Hal ini dimaksudkan agar adanya keterlibatan emosi antara penonton dengan tokoh atau peristiwa yang dilakonkan. Dengan begitu, penonton dapat mengambil pesan peristiwa atas keterlibatan emosinya saat menyaksikan drama. Revitalisasi dramatic reading dilakukan karena bentuknya lebih sederhana, tidak perlu kostum khusus, tata rias khusus, dan tata cahaya yang khusus. Dramatic reading dapat dilakukan dengan kostum yang lebih sederhana, tata rias seadanya, dan tata cahaya seadanya, misalnya berbekal hanya lampu neon pun dramatic reading dapat dilakukan. Dramatic reading di mana saja dengan cara membacakan naskah drama seperti sedang melakonkan di atas panggung dengan instrumen dan ensambel pementasan yang lengkap. Revitalisasi dalam bentuk dramatic reading dilakukan dengan cara memilih naskah yang akan dibacakan. Kemudian dilakukan proses casting atau pemilihan pemeran. Selanjutnya, dilakukan proses reading atau pembacaan naskah drama.

Sanggar cerita dirancang agar karang taruna dapat membentuk kelompok regenerasi yang dapat mendongengkan cerita Situ Gede secara simultan. Sanggar cerita didesain untuk dilakukan secara luring agar dapat lebih membangun kedekatan emosional antara pendongeng yang merupakan kelompok regenerasi karang taruna dengan audiens. Tujuan dibentuk sanggar cerita agar terbentuk kelompok regenerasi yang menyebarluaskan dongeng dalam lingkup pendidikan nonformal. Selain itu, perancangan sanggar cerita bertujuan agar kegiatan mendongeng dapat terus dilakukan sebab kegiatan mendongeng mampu meningkatkan daya imajinasi dan kemampuan berbicara di depan umum. Cerita yang berkembang di daerahnya pun dapat terus dituturkan dengan lebih leluasa tanpa kegiatan ritual dan terjadi pewarisan cerita dengan mudah. Revitalisasi dalam bentuk sanggar cerita dilakukan oleh karang taruna dengan tahapan pembentukan sanggar cerita, pengelolaan kelompok sanggar cerita, demonstrasi/kegiatan bercerita di hadapan kelompok regenerasi, dan perancangan kelompok regenerasi. Sanggar cerita didesain untuk dilakukan dalam kurun waktu 4 minggu. Berikut desain kegiatan sanggar cerita.

Video Sanggar Cerita Situ Gede - Google Drive

2.&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;Cerita Pendek Cerita pendek yang dihadirkan dalam revitalisasi merupakan bentuk alih wahana cerita berbahasa Sunda yang ditransliterasi ke bahasa Indonesia. Dalam proses transliterasi terdapat penyesuaian istilah dan peristiwa dengan tetap memerhatikan unsur kesastraan berupa fakta cerita (alur, tokoh, dan latar). Transliterasi merupakan bentuk revitalisasi yang bertujuan mengubah bentuk lama berbahasa daerah menjadi bentuk baru berbahasa Indonesia. Revitalisasi cerita pendek dilakukan karena alur cerita dapat disimplifikasi atau dipadatkan. Selain itu, bentuk cerita pendek tidak terikat dengan aturan penuturan cerita rakyat yang disertai ritual terlebih dahulu. Hal ini memungkinkan cerita akan bersifat lebih profan sehingga dapat dijangkau oleh masyarakat umum secara lebih luas tanpa bersinggungan dengan hal-hal yang bersifat prinsip, seperti keyakinan.&nbsp; Dalam transformasi cerita pendek, terdapat penyesuaian alur dan penokohan. Hal ini disesuaikan dengan tujuan revitalisasi yaitu menyederhanakan alur peristiwa yang terdapat dalam cerita rakyat. Selain penyesuaian alur dan penokohan, terdapat penyesuaian latar suasana dan tempat. Penyesuaian tersebut dibuat untuk mencapai estetika peristiwa dan suasana. Dalam membuat revitalisasi dalam bentuk cerita pendek, pertama-tama dilakukan pemilihan cerita.&nbsp;

Segeralah mereka menyambung kembali patahan tandu itu dengan tanah liat. Daerah tersebut kemudian dikenal dengan nama Sambong (dari kata sambung). Setelah tandu berhasil disambung mereka melanjutkan perjalanan. Kali ini mereka menggusur tandu itu karena kondisi tanah liat belum kering benar untuk bisa kuat merekatkan sambungan. Hingga tibalah mereka di suatu daerah dan memutuskan untuk beristirahat sejenak di sebuah hamparan tanah. Setelah cukup lama beristirahat, mereka melanjutkan perjalanan. Jasad Eyang Prabu Adilaya pun dipangku lagi. Ketika mereka memangku jasad Eyang Prabu Adilaya dari tanah, tanahnya terserok sehingga daerah itu pun dikenal dengan nama Mangkubumi (memangku bumi/tanah). Di sebuah daerah mereka tercegat banjir. Tetapi mereka terus melakukan perjalanan dengan menentang arus air. Akibatnya air tersebut bercipratan ke mana-mana, sehingga daerah tersebut dikenal dengan nama Cibanjaran. Kemudian mereka terus berjalan lurus ke arah barat. Karena terus menerus menentang arus air, air tersebut menjadi keruh dan berwarna kuning, jadilah daerah tersebut dikenal dengan nama Cikunir. Perjalanan untuk menguburkan jasad Eyang Prabu Adilaya tidaklah mudah. Sebab mereka ingin mencari tempat yang aman untuk menguburkan jasad suaminya.

Setelah cukup lama berjalan, tiba-tiba kedua emban nagog (jongkok) sehingga tempat tersebut dikenal dengan nama daerah Nagrog.&nbsp;Tak lama kemudian, perjalanan dilanjutkan kembali. Setelah cukup jauh berjalan, mereka melewati suatu tempat yang udaranya cukup tiis (sejuk). Mereka pum memutuskan untuk beristirahat sejenak. Angin sepoi-sepoi menyapu wajah mereka yang kelelahan. Wajah-wajah penuh dosa atas pengkhianatan kepada suami. Tempat peristirahatan itu memang membuat hawa panas yang mereka rasakan menjadi dingin. Tubuh mereka segar kembali. Tenaga mereka puih kembali. Di tempat itulah nama Maniis dikenal sampai sekarang.&nbsp; Mereka terus berjalan untuk mencari-cari tempat yang aman. Kemudian mereka berjalan ke arah utara, belok lagi ke arah timur hingga tibalah di sebuah tempat yang dianggap cukup layak dan aman. Tempat tersebut berupa sebuah tegalan luas dengan cekungan yang di tengahnya terdapat sebuah bukit kecil. Ke bukit kecil itulah mereka menuju dan menggali lubang untuk mengubur jasad Eyang Prabu Adilaya. Akhirnya jasad Eyang Prabu Adilaya dikuburkan di bagian puncak tegalan. Kemudian, mereka membuat benteng besar di sepanjang sisi tegalan dengan maksud untuk menjadikan bendungan. Setelah bendungan terbentuk, dialirkanlah air dari sebuah sungai yang ada di bagian barat bendungan yang bernama Sungai Cikunten.&nbsp;

Pop art blue

Revitalisasi cerita Situ Gede merupakan bentuk pelestarian cerita Situ Gede dalam bentuk alih wahana. Revitalisasi dipilih dengan memanfaatkan perkembangan teknologi dengan pembuatan cerita animasi yang diunggah dalam media sosial serta buku digital agar upaya revitalisasi dapat tersebar luas dengan mudah dan cepat. Semoga revitalisasi cerita rakyat ini dapat bermanfaat bagi kelestarian cerita sekaligus lingkungan alam. Rahayu!

Revitalisasi Cerita Situ Gede ..............................................1 A. Pengantar Revitalisasi ....................................................1 B. Bentuk Revitalisasi...........................................................2 C. Produk Revitalisasi............................................................3

1. Sanggar Cerita...............................................................4 2. Cerita Pendek...............................................................6 3. Dongeng Animasi.......................................................27

a. Dongeng Berbasis Audio.....................................27 b. Dongeng Berbasis Animasi................................34

4. Drama............................................................................36

a. Naskah Drama.......................................................37 b. Dramatic Reading..................................................38

Tentang Penulis.................................................................40

Keduanya kemudian merasa sakit hati karena tidak diperhatikan oleh suaminya. Suami mereka lebih mengutamakan berdakwah. Mereka merasa dibiarkan oleh suami mereka. Hingga muncullah niat jahat dari keduanya. Sementara itu, Eyang Prabu Adilaya melakukan tirakat kemudian tertidur. Para emban pun sudah tertidur karena kelelahan. Di malam yang hening itu, kedua istri Eyang Prabu Adilaya melancarkan kejahatan mereka. “Allahu akbar” Terdengar suara takbir yang diucapkan Eyang Prabu Adilaya. Setelah itu, tidak ada lagi suara apapun selain suara jeritan kedua emban yang melihat tubuh Eyang Prabu Adilaya yang sudah tidak bernyawa.&nbsp; Kedua istrinya kemudian memerintahkan para emban untuk membantu mereka menguburkan jasad Eyang Prabu Adilaya. Di malam itu juga, mereka menggotong jasad Eyang Prabu Adilaya sambil mencari tempat yang terpencil untuk menguburkan jasad suami mereka. Darah yang menetes dari tubuh Eyang Prabu Adilaya membuat tanah menjadi merah hingga daerah tersebut dikenal dengan nama Cibeureum. Kemudian mereka berjalan dan tiba-tiba tandu yang digunakan untuk menggotong jasad Eyang Prabu Adilaya patah. “Praakkk”

Mereka menyambung tandu itu dan dikenallah daerah itu dengan nama Sambong. Kemudian setelah berjalan lagi, tandunya kembali patah dan jasad terjatuh ke tanah. Mereka pun memangku jasad suami mereka yang terjatuh di tanah dan daerah itu dikenal dengan nama Mangkubumi. Setelah berjalan ke daerah yang baru, kedua emban jongkok karena kelelahan. Dikenallah tempat itu dengan nama Nagrog. Mereka melanjutkan perjalanan dan di sebuah tempat yang sejuk mereka beristirahat sejenak sehingga dikenallah tempat itu dengan nama Maniis. Mereka berjalan lagi ke arah barat hingga menemukan sebuah bukit. Mereka menguburkan jasad Eyang Prabu Adilaya di sana. Karena mereka khawatir para emban akan membocorkan kejadian ini, mereka pun menghabisi para emban. Akhirnya, Sekar Rembong dan Sembah Dalem memutuskan untuk berpisah. Keduanya mengambil jalan yang berbeda.&nbsp; “Selamat tinggal, Yunda. Semoga kita bisa hidup bahagia.” “Selamat tinggal, Dinda.” Di tempat lain, Ibunda Ratu yang merupakan ibu dari Eyang Prabu Adilaya merasakan firasat buruk terjadi kepada anaknya. Ia pun melakukan tirakat dan mendapatkan petunjuk.

“Adilaya, anakku. Di sinilah kau menyapaku dalam tidurku. Di sinilah kau menunjukkan keberadaanmu. Adilaya, anakku, ibu tak bisa menjagamu hingga akhir hayat namun ibu selalu mencintaimu. Tak akan ibu biarkan kau menderita lagi di pembaringanmu ini. Ibu titahkan pengawal untuk menjaga tidurmu, Nanda. Cinta ibu selalu bersamamu. Tidurlah dengan tenang, Nanda…” Tak terasa, air mata ibunda Eyang Prabu Adilaya mengalir deras hingga membanjiri wilayah lembah dan menjadikan makam Eyang Prabu Adilaya seakan mengapung di tengah danau. &nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;Ibunda Ratu yang masih menangisi kematian anaknya, kemudian menitahkan dua pengawal untuk menjaga makam Eyang Prabu Adilaya. Kedua penjaga berubah menjadi dua ekor ikan yang bernama Layung dan Kohkol. Si Layung adalah ikan mas sedangkan Si Kohkol adalah ikan gabus. Manusia tak pernah meninggalkan rasa cinta dan dendam dalam hidupnya. Gelombang perasaan datang dan pergi seperti perpasangan di dunia fana.&nbsp; “Siapapun yang mengganggu makam anakku, akan celaka dan tenggelam. Begitu pun mereka yang berasal dari Sumedang, akan celaka jika berani berlayar dan mengunjungi makam anakku. Jangan pernah mengganggu ketenangan tidur anakku. Barangsiapa yang mengganggu ketenangan anakku, merusak makam anakku, mengganggu dan merusak kekuasaan Layung dan Kohkol akan mendapatkan derita dan tangis berkepanjangan.”&nbsp;

“Daaaarrrrr!” Petir menggelegar seolah merestui sumpah Ibunda Ratu. Kedua pengawal telah menjadi ikan, keduanya menjelma Si Layung dan Si Kohkol. Keduanya menyerahkan diri pada air, menjaga makam Eyang Prabu Adilaya. Sesekali menampakkan wujudnya pada manusia yang berbuat onar dan merusak lingkungan danau. Memberi tanda waspada kepada para pengacau. Memberi hukuman kepada para pelanggar. *Diadaptasi dari cerita rakyat Situ Gede

Dalam melakukan pembacaan naskah drama dilakukan pula kegiatan bedah naskah untuk memahami hal-hal penting terkait karakter tokoh dan peristiwa penting dalam cerita. Terakhir dilakukan pembacaan naskah drama seperti layaknya sedang melakukan pentas di atas panggung karena aktor tetap harus menguasai lakon, alur, struktur dramatik, karakter, dan seting peristiwa (Hasan, 2019, hlm.&nbsp;173). Dalam melakukan dramatic reading, pembaca naskah berlaku sebagai aktor sebagaimana bermain drama pada umumnya. Kehadiran kostum, tata rias, tata cahaya, properti, artistsik, dan musik yang khusus dalam dramatic reading tidak menjadi dominan atau bagian penting. Pada intinya dramatic reading adalah proses membaca melakonkan peran dengan cara membaca naskah dengan tetap memperhatikan ekspresi, intonasi, artikulasi, dan gerak.

Tentang Penulis Ridzky Firmansyah Fahmi lahir di Bandung dan menamatkan semua jenjang sekolah di Bandung. Ia menamatkan sekolah jenjang sarjana dan magister di Universitas Pendidikan Indonesia. Aktif di dunia seni dengan menjadi foto model dan peragawan, aktor teater, pimpinan produksi pementasan teater, sutradara, penata rias pementasan teater, penata artistik pementasan teater, serta pernah menekuni dunia kepenyiaran. Saat ini ia mengajarkan Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA). Selain mengajar, ia menulis cerpen, buku tentang mantra, dan bahan ajar BIPA. Sebagai sosok yang atraktif dan selalu enerjik, penulis aktif dalam bidang sosial untuk mengampanyekan penyadaran publik di bidang korupsi, lingkungan hidup, dan eksploitasi seks komersial anak.

Dramatic reading cerita Situ Gede

Dramatic Reading Eyang Adilaya

Revitalisasi dalam bentuk dramatic reading

“Assalamualaikum. Kiai, salam hormat,” ucap Eyang Prabu Adilaya. “Waalaikumsalam. Selamat datang, Adilaya. Aku senang akhirnya kau mau mengunjungiku dan belajar ilmu agama di tempatku. Oh ya, kenalkan, ini putriku, Sembah Dalem. Dia anakku satu-satunya.” “Assalamualaikum, Nyai,” Eyang Prabu Adilaya memberi salam kepada Sembah Dalem. “Waalaikumsalam,” jawab Sembah Dalem. “Kenalkan ini istriku, Sekar Rembong.” “Assalamualaikum, Yunda,” ucap Sembah Dalem kepada Sekar Rembong. “Waalaikumsalam, Dinda,” jawab Sekar Rembong. “Ah mari, mari masuk, tak baik ngobrol di luar,” Kiai meminta semuanya masuk ke rumah. Keesokan harinya, Eyang Prabu Adilaya mulai belajar ilmu agama. Sementara istrinya, Sekar Rembong banyak mengobrol dengan Sembah Dalem. Keduanya merasa seperti kakak-adik. Terlebih keduanya adalah anak tunggal jadi mereka tidak bisa merasakan mempunyai seorang kakak atau adik.&nbsp;

“Yunda, suamimu sangat rajin dan pandai. Dia cepat memahami ilmu agama yang diberikan bopoku,” ucap Sembah Dalem. “Begitulah, Dinda. Kanda Adilaya memang dianugerahi kepandaian yang luar biasa dalam ilmu agama. Aku bangga mempunyai suami seperti dia,” ujar Sekar Rembong. Ketika keduanya sedang asyik bercengkerama, Silihwati menghampiri Sekar Rembong dan menyampaikan bahwa Eyang Prabu Adilaya memanggil Sekar Rembong ke kamarnya. “Dinda, ada yang harus aku sampaikan kepadamu. Kuharap kau mengerti dan memahami situasi ini. Sebenarnya aku yakin kau memahami situasi ini dengan baik, terlebih kau adalah istriku, anak dari guruku yang sangat kuhormati,” Eyang Prabu Adilaya memulai percakapan dengan istrinya. “Ada apa, Kanda? Katakan saja, jangan membuatku cemas dan bertanya-tanya. Ayo, katakan saja,” desak Sekar Rembong. “Guruku memintaku untuk menikahi putrinya, Sembah Dalem,” Eyang Prabu Adilaya berucap dengan lugas dna tenang. “Menikah? Dengan Sembah Dalem?”

3. Dongeng Digital Dongeng digital merupakan salah satu bentuk dongeng yang disajikan melalui media digital (Astina, 2020, hlm. 357). Dogeng digital merupakan bentuk reformasi dari revitalisasi cerita rakyat karena adanya perubahan format lama ke format baru. Dalam hal ini format yang berubah adalah bentuknya dari cerita lisan menjadi cerita audio visual. Dongeng digital berfungsi sebagai stimulus untuk menarik minat baca. Selain itu, bertujuan untuk mendokumentasikan cerita-cerita yang tersebar di masyarakat dan menyajikannya dengan konten yang lebih menarik sebagai upaya pelestarian cerita-cerita yang ada di masyarakat agar tidak hilang. Revitalisasi dalam bentuk dongeng digital memberi bentuk baru dalam penuturan cerita rakyat sehingga lebih menarik karena disertai ilustrasi fisik tokoh secara visual, warna, dan latar musik sebagai penguat suasana. Dengan revitalisasi dalam bentuk digital, cerita rakyat dapat menarik minat anak usia sekolah. Bentuk dongeng digital dapat berupa dongeng penggunaan media audio digital dan audio visual. a.&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;Dongeng Berbasis Audio Dongeng berbasis audio yaitu perekaman cerita yang dapat diperdengarkan dalam bentuk MP3 atau siaran di radio.

 Bentuk songeng berbasis audio yang sudah banyak dikenal yaitu sandiwara radio. Untuk membuat dongeng audio, langkah pertama adalah menentukan cerita yang akan dituturkan. Kemudian menyusun naskah cerita yang akan dituturkan. Naskah cerita yang dibuat meliputi deskripsi latar tokoh, waktu, dan peristiwa, serta dialog dan ilustrasi musik. Setelah itu, dilakukan perekaman dongeng seperti layaknya sedang mendongeng. Selanjutnya dilakukan proses penambahan ilustrasi musik atau suara untuk membangun atau menguatkan latar suasana peristiwa yang dituturkan. Dongeng berbasis audio dapat dikembangkan menjadi dongeng animasi karena bahan utama berupa penuturan cerita sudah dilakukan (dalam bentuk rekaman).

Hari telah gelap ketika mereka tiba di tanah Priangan. Namun mereka belum tiba di tempat tujuan. Mereka tiba di tepi danau dan memutuskan untuk bermalam di sana. Eyang Prabu Adilaya yang kelelahan, langsung merebahkan diri dan beristirahat. Sementara kedua istrinya masih asyik bercengkerama tentang keseruan perjalanan mereka. “Yunda, apa yang membuat perjalanan kali ini sangat berbeda dengan perjalanan Yunda sebelumnya?” “Tentu saja kehadiranmu membuat berbeda, Dinda.” “Tapi kehadiranku dalam perjalanan ini tidak mengganggu Yunda, bukan?” “Tentu tidak, Dinda. Aku senang karena terhibur sepanjang jalan. Kau memang pandai membuat suasana menjadi lebih hangat dan perjalanan terasa ringan.” “Syukurlah kalau begitu, Yunda. Tetapi Yunda, mengapa Kanda Adilaya tampak biasa saja, sepertinya dia tidak terhibur dengan gurauanku.” “Kau lupa, Dinda? Suami kita memang seperti itu. Dia tak banyak bicara, dia terlalu fokus belajar agama. Terkadang dia kurang romantis kepadaku.” “Oh, kepada Yunda juga Kanda kurang romantis? Aku pikir dia bersikap seperti itu hanya kepadaku.”

“Dia memang seperti itu. Aku pun kurang paham dengan sikapnya.” “Yunda, menurut Yunda apakah Kanda Adilaya….. mmhhhhh….” “Kenapa, Dinda?” “Mmmhhh…..” “Kenapa? Katakan saja, Dinda, ada apa dengan suami kita?” “Apakah Kanda Adilaya mencintai kita? Sebab kepadaku juga dia tidak pernah bersikap romantis.” “Apa? Kepadamu juga?” “Iya, Dinda.” “Aku pikir dia bersikap seperti itu hanya kepadaku, tapi tidak kepadamu.” “Ternyata nasib kita sama, Yunda. Pasti ini semua karena Kanda Adilaya lebih mengutamakan untuk belajar agama daripada membahagiakan istri-istrinya. Bukankah begitu, Yunda?” “Mungkin saja seperti itu. Sepertinya Kanda Adilaya lupa dengan keberadaan kita.”

Parchment

https://api.bookcreator.com/users/v2/iYrllrSKTibB0rZUhy6mLIZ4dr72/books/3TGfd0_EQrm3tie-eKnIAA/assets/ZxlPGhfUQxelCJzJV6CcVg.png?width=1621&height=810

REVITALISASI CERITA SITU GEDE

“Benar, Dinda. Aku tak kuasa menolak permintaannya. Ini adalah bukti baktiku kepada guruku.” “Kanda, hal tak pernah terpikir olehku. Kita baru saja menikah dan kau harus mempunya istri lain. Jika harus jujur, hatiku sakit, Kanda. Belumlah kita menikmati indahnya rumah tangga berdua, sekarang kau harus membagi cintamu dengan wanita lain. Tapi aku paham situasi ini begitu sulit untukmu. Mungkin juga ini adalah suratan takdir yang telah Allah tentukan. Sejujurnya aku keberatan dengan hal ini, namun aku tak punya kuasa apa-apa untuk menghalangi agar hal ini tak terjadi. Bolehkah aku bertanya kepadamu, Kanda?” “Tanyakan apa saja yang ingin kau tanya, Dinda.” “Saat ayahku memintamu menikahiku, apakah kau mencintaiku?” “Aku mencintaimu karena Allah, Dinda.” “Alhamdulillah, Kanda. Lalu bagaimana dengan perasaanmu kepada Sembah Dalem?” “Aku pun mencintainya karena Allah.” “Jika begitu, aku izinkan kau menikahinya, Kanda. Cinta karena Allah.” “Insha Allah, Dinda.”

Tak berselang lama, Eyang Prabu Adilaya dan Sembah Dalem pun menikah. Hubungan Sekar Rembong dan Sembah Dalem menjadi makin dekat. Keduanya lebih sering terlihat berdua. Mereka memang benar-benar seperti layaknya kakak dan adik. Keduanya saling mengajari. Tentu saja, Sekar Rembong yang lebih tua daripada Sembah Dalem, lebih tahu bagaimana mengajari Sembah Dalem yang sudah dianggap sebagai adiknya sendiri. Tak ada pun rasa iri atau cemburu di antara mereka berdua. Pada suatu hari, Eyang Prabu Adilaya mengungkapkan keinginannya untuk berdakwah. Ia merasa ilmunya sudah cukup untuk dibagikan kepada masyarakat. Ia pun menanyakan kesediaan kedua istrinya untuk menemaninya berdakwah. Sekar Rembong dan Sembah Dalem mendukung keinginan Eyang Prabu Adilaya untuk menyebarkan agama Islam. Eyang Prabu Adilaya memutuskan untuk lebih dulu berdakwah di kampung halamannya. Akhirnya, mereka pergi ke kampung halaman Eyang Prabu Adilaya. Kali ini, perjalanan menjadi berbeda karena Eyang Prabu Adilaya ditemani pula istri keduanya, Sembah Dalem yang juga ditemani embannya bernama Sagolong.&nbsp; Selepas salat subuh, mereka berlima melakukan perjalanan. Selama di perjalanan, mereka saling bergurau agar perjalanan tak terasa melelahkan. Sembah Dalemlah yang lebih sering melakukan gurauan kepada Sekar Rembong.&nbsp;

Revitalisasi dalam bentuk pola transfer meliputi pemindahan cerita dengan cara disosialisasikan atau disebarluaskan kepada pihak terdekat, seperti keluarga atau murid, dikonversi ke bentuk teks verbal tertulis, audio, atau audio visual agar dapat dikuasai oleh masyarakat pendukungnya. Pola transfer dapat dilakukan dengan cara yang lebih luas yaitu mengeksternalisasi produk budaya ke dalam bentuk wahana lain, seperti mengalihbahasakan produk budaya dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia agar dapat diapresiasi oleh masyarakat yang lebih luas di berbagai wilayah (World Bank, 1998, hlm. 9). C.&nbsp;&nbsp;&nbsp;Produk Revitalisasi Produk revitalisasi cerita Situ Gede berupa sanggar cerita, cerita pendek yang merupakan alih wahana dari transkrip cerita, dongeng digital, dan drama Situ Gede. Cerita Situ Gede dipilih sebab cerita Situ Gede merupakan cerita yang bersifat profan sehingga memudahkan dalam revitalisasi. Selain itu, Situ Gede sudah menjadi objek wisata dan tidak semua pengunjung Situ Gede mengetahui asal-usul cerita Situ Gede. Kondisi Situ Gede sebagai tempat wisata, memungkinkan Kawasan Situ Gede tercemar limbah plastik makanan dan minuman dari pengunjung sehingga revitalisasi cerita Situ Gede dapat menjadi alternatif ruang penyadaran sumber daya air.&nbsp;

1.&nbsp;&nbsp;Sanggar Cerita Sanggar cerita merupakan kegiatan bercerita/mendongeng yang diinisiasi oleh karang taruna dan dilakukan dalam bentuk tatap muka.&nbsp;Sanggar cerita dirancang agar karang taruna dapat membentuk kelompok regenerasi yang dapat mendongengkan cerita Situ Gede secara simultan. Sanggar cerita didesain untuk dilakukan secara luring agar dapat lebih membangun kedekatan emosional antara pendongeng yang merupakan kelompok regenerasi karang taruna dengan audiens. Tujuan dibentuk sanggar cerita agar terbentuk kelompok regenerasi yang menyebarluaskan dongeng dalam lingkup pendidikan nonformal. Selain itu, perancangan sanggar cerita bertujuan agar kegiatan mendongeng dapat terus dilakukan sebab kegiatan mendongeng mampu meningkatkan daya imajinasi dan kemampuan berbicara di depan umum. Cerita yang berkembang di daerahnya pun dapat terus dituturkan dengan lebih leluasa tanpa kegiatan ritual dan terjadi pewarisan cerita dengan mudah. Revitalisasi dalam bentuk sanggar cerita dilakukan oleh karang taruna dengan tahapan pembentukan sanggar cerita, pengelolaan kelompok sanggar cerita, demonstrasi/kegiatan bercerita di hadapan kelompok regenerasi, dan perancangan kelompok regenerasi. Sanggar cerita didesain untuk dilakukan dalam kurun waktu 4 minggu.

Begitupun dengan Sekar Rembong yang menatap wajah suaminya. Ia tersenyum sambil menitikkan air mata. Malam begitu hening. Tak ada suara apa pun di luar sana. Tak ada suara burung hantu. Tak ada lolongan anjing. Yang ada hanya suara takbir. Malam itu suasana terasa begitu tenang dan damai. “Allahu akbar”, ucap Eyang Prabu Adilaya dengan suara lirih. Eyang Prabu Adilaya menghembuskan napas terakhirnya seraya mengucap takbir. Di dada dan perutnya menancap keris. Sementara tangan Sekar Rembong dan Sembah Dalem berlumuran darah.&nbsp; “Yunda, apa yang sudah kita lakukan?” “Diam kau, Sembah Dalem! Cepat bersihkan darah ini jangan sampai menetes ke tanah.” Darah mengucur dengan deras. Sekar Rembong dan Sembah Dalem berupaya menghentikan aliran darah namun darah itu mengucur deras seperti banjir lahar. Darahnya mengalir menuju danau yang menyebabkan air danau menjadi merah. Dikenallah tempat itu dengan nama Cibeureum (air berwarna merah).

“Yunda, apa yang harus kita lakukan sekarang? Aku tak mungkin kembali dan menceritakan semuanya. Kita pun tak mungkin pulang ke kediaman Kanda Adilaya dengan membawa jasadnya.” “Kita kubur jasadnya di tempat yang terpencil.” Untuk menyembunyikan kejahatannya, Sekar Rembong membungkus jasad Eyang Prabu Adilaya. Ia menyuruh Silihwati dan Sagolong untuk menggotong jasad Eyang Prabu Adilaya. Sekar Rembong, Sembah Dalem, Silihwati, dan Sagolong mencari sebuah tempat untuk menyembunyikan jasad Eyang Prabu Adilaya. Mereka berjalan ke arah selatan, kemudian ke arah barat. “Praaakkkk!” “Buugg…” “Suara apa itu, Yunda?” Tanya Sembah Dalem. “Ah, tandunya patah, Dinda. Ayo kita sambung tandunya.” “Dengan apa, Yunda? Tak ada dahan yang bisa digunakan.” “Dengan ini, tanah ini, Dinda. Aku yakin tanah ini bisa menyambungkan patahan tandu ini.”

“Baiklah, Adilaya, akan aku sampaikan hal ini kepada putriku dan aku persiapkan pernikahan kalian,” ucap Kiai Jawa Raga sambil memeluk tubuh Eyang Prabu Adilaya. Hari yang telah ditetapkan pun tiba. Eyang Prabu Adilaya menikah dengan Sekar Rembong yang merupakan putri tunggal Kiai Jawa Raga. “Sekar Rembong, putriku, kau sudah menjadi tanggung jawab suamimu. Dari ujung rambutmu hingga ujung kakimu sekarang sudah bukan menjadi hakku untuk mengaturmu. Surga dan nerakamu ada di tangan suamimu,” ucap Kiai Jawa Raga kepada putrinya, Sekar Rembong. “Ayahanda, aku memohon restu agar pernikahanku dipenuhi kebahagiaan dan keberkahan. Sembah hormatku untuk ayahanda. Doakan agar aku selalu dapat mengabdi kepada suamiku,” ujar Sekar Rembong kepada ayahnya. “Doaku selalu menyertaimu, putriku,” ucap Kiai Jawa Raga dengan suara lirih. “Kiai, aku mohon restu agar bisa menjadi imam bagi putri Kiai. Doakan kami agar dapat menjalani kehidupan dengan benar dan selalu berada di jalan Allah,” ucap Eyang Prabu Adilaya kepada Kiai Jawa Raga yang kini sudah menjadi mertuanya. “Doaku selalu menyertai kalian,” ujar Kiai Jawa Raga.

Eyang Prabu Adilaya dan istri serta emban tiba di sebuah desa. Ia bertanya kepada penduduk desa tentang pesantren yang ingin didatanginya. Penduduk desa pun mengantarnya ke pesantren yang dimaksud. Di tempat barunya, Eyang Prabu Adilaya, Sekar Rembong, dan Silihwati diterima dengan baik. Mereka disambut langsung oleh pimpinan pesantren dan anak perempuannya.

Beberapa hari kemudian, Eyang Prabu Adilaya menghampiri istrinya yang sedang menyirami tanaman. Dia menyampaikan keinginannya untuk memperdalam ilmu agama di pesantren lain. “Dinda, bagaimana jika kita melakukan perjalanan ke timur. Aku ingin belajar lagi ilmu agama. Kurasa ilmu agamaku masih kurang,” ucap Eyang Prabu Adilaya kepada Sekar Rembong. “Ke mana Kanda pergi, tentu aku pun akan ikut pergi bersama Kanda. Selama Kanda membawaku ke jalan kebenaran, aku selalu ada di sampingmu, Kanda,” ujar Sekar Rembong kepada suaminya. “Baiklah, Dinda. Besok kita akan pergi. Petang ini, kita meminta izin kepada ayahanda.” Keesokan harinya Kiai Jawa Raga pun melepas kepergian anak dan menantunya untuk belajar ilmu agama. Ia memerintahkan seorang emban bernama Silihwati untuk menemani anak dan menantunya.

Sesudah itu, ilustrator menggambar cerita sesuai dengan peristiwa yang dituturkan pendongeng. Tahap terakhir adalah proses penyuntingan dengan menyesuaikan tempo penuturan cerita dengan ilustrasi peristiwa dan penambahan musik atau lagu. Dongeng animasi disajikan dalam bentuk mendongeng yang dapat disaksikan melalui kanal YouTube agar dongeng yang dituturkan dapat tersebar luas dengan mudah dan penyebarannya tidak terbatas. Revitalisasi dalam bentuk dongeng animasi dirancang untuk membuat cerita rakyat menjadi lebih hidup dan menarik untuk disimak karena hadirnya warna, visualisasi tokoh dan latar, dan ilustrasi musik yang turut membangun suasana.

4.&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;Drama Drama memiliki arti bertindak, berlaku, berbuat, beraksi, dan sebagainya yang merupakan bentuk seni yang berusaha mengungkapkan hal kehidupan manusia melalui gerak atau aksi dan percakapan atau yang lebih dikenal dengan dialog (Harymawan, 1993, hlm. 1; Tjahyono, 1988, hlm. 186). Drama memiliki dua dimensi, yakni sebagai karya sastra dan sebagai seni. Drama sebagai karya sastra adalah drama dalam arti sebagai naskah/teks, sementara drama sebagai seni diartikan sebagai pertunjukan/pementasan di atas panggung.&nbsp;Panggung dalam drama tidak harus berupa sebuah gedung pertunjukan atau arena berbentuk prosenium. Panggung dalam drama bisa berupa ruang tempat dipertunjukkannya sajian drama. Revitalisasi dalam bentuk drama merupakan bentuk reformasi sebab adanya perubahan bentuk dari cerita lisan menjadi bentuk bacaan dan tontonan. Revitalisasi dalam bentuk naskah drama dibuat untuk menghadirkan pengalaman estetik bagi penonton sebab tokoh dan peristiwa dalam cerita akan menjadi “hidup” dan berkesan benar-benar hadir di dunia nyata saat drama tersebut dihadirkan.

Dongeng animasi cerita Situ Gede

Animasi Cerita Rakyat Situ Gede

“Dinda, kurasa ini akhir pertemuan kita. Di tempat inilah kita harus berpisah. Kanda Adilaya yang mempertemukan kita dan dia jugalah yang memisahkan kita.” “Yunda, akan ke manakah, Yunda?” “Aku tak tahu, aku akan mengikuti langkah kakiku. Aku akan pergi seorang diri.” “Tapi Yunda, bagaimana jika Silihwati dan Sagolong membocorkan kematian Kanda Adilaya kepada Ibunda Ratu?” “Jangan sampai itu terjadi sebab mereka akan menemui ajal mereka di sini, saat ini juga.” “Mari, Dinda, tuntaskan pekerjaan kita.” Sekar Rembong dan Sembah Dalem membunuh Silihwati dan Sagolong. Kemudian menguburkan keduanya dalam satu liang lahat. Matahari telah memicingkan sinarnya dan suara alam menandakan senja telah tiba. Sekar Rembong dan Sembah Dalem memutuskan untuk berpisah dan mengambil yang jalan berbeda.&nbsp;

Di tempat lain, ibunda Eyang Prabu Adilaya sangat gusar.&nbsp;Sudah berminggu-minggu ia gelisah dan tak bisa tidur. Ia merasakan firasat buruk terjadi kepada putranya, Eyang Prabu Adilaya. Untuk menghilangkan kegelisahannya, ia menitahkan adik Eyang Prabu Adilaya untuk mencari Eyang Prabu Adilaya. Pergilah adik Eyang Prabu Adilaya mencari keberadaan kakaknya. Tibalah ia di sebuah desa dan bermalam di sana. Ia menemukan jejak kakaknya melalui penjelasan penduduk yang sempat disinggahi Eyang Prabu Adilaya. Namun, pencarian jejak Eyang Prabu Adilaya harus dikalahkan oleh kecantikan perempuan desa. Menikahlah ia dan menetap di sana hingga lupa atas titah ibunya. Ibunda Ratu bukanlah orang sembarangan, ia gemar melakukan tirakat dan firasatnya sangat kuat. Ia tak bisa menunggu-nunggu kabar dari anak keduanya. Saat malam purnama tiba, ia pun melakukan tirakat hingga tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi Eyang Prabu Adilaya menemuinya dan berucap “Carilah bukit yang bersinar, di situlah aku ada.”&nbsp; Kemudian ibunda Eyang Prabu Adilaya dan pengawal mencari tempat yang dimaksud. Sampailah mereka di suatu lembah dan ditemukanlah bukit yang bersinar itu. Ibunda Ratu dan pengawal pun langsung memasuki bukit yang bersinar itu. Sampai di sana, ia menemukan sebuah gundukan tanah yang diberi pohon semboja. Air matanya tak terbendung saat mengetahui anak yang dicarinya sudah berselimut tanah.&nbsp;

Revitalisasi Cerita Situ Gede

A.&nbsp;&nbsp;&nbsp;Pengantar Revitalisasi Revitalisasi diartikan sebagai proses, cara, perbuatan menghidupkan atau menggiatkan kembali (KBBI, 2013, hlm. 1172). Sementara menurut Pudentia, revitalisasi adalah pemberdayaan kembali atau penguatan dan pengembangan yang sesuai dengan situasi dan kondisi zaman serta masyarakat pendukungnya. Revitalisasi merupakan upaya pelestarian dan perlindungan dari kemusnahan atau kematian. Lebih lanjut, Pudentia menjelaskan upaya yang dapat dilakukan dalam melakukan revitalisasi adalah dengan seringnya mementaskan atau menampilkan dalam berbagai situasi dan khalayak yang berbeda-beda. Revitalisasi yang dapat dilakukan dalam situasi dan kondisi yang sesuai dengan zaman adalah transformasi atau aluh wahana dengan berbagai bahasa, genre, budaya, fungsi, bentuk dan sebagainya (Pudentia, 2015, hlm. 443-444).&nbsp;

B.&nbsp;&nbsp;&nbsp;Bentuk Revitalisasi Bentuk-bentuk revitalisasi dapat berupa rekonstruksi, refungsionalisasi, representasi, reformasi, reinterpretasi, reorientasi, dan rekreasi. Rekonstruksi dilakukan pada produk budaya yang benar-benar sudah hilang dari peredaran. Namun karena dianggap memiliki nilai yang penting bagi masyarakat pendukungnya, produk budaya ini dihidupkan dan digiatkan kembali agar tetap dapat disaksikan dan dinikmati. Refungsionalisasi merupakan upaya penambahan, pengembangan, penggantian, atau pemberian fungsi baru terhadap produk budaya. Representasi merupakan penyajian kembali produk budaya dengan lebih bervariasi. Reformasi adalah pengubahan format atau bentuk produk budaya dari bentuk lama ke bentuk baru. Reinterpretasi adalah penafsiran ulang atau memberi makna baru pada&nbsp;produk budaya. Reorientasi adalah penggeseran patron atau aturan lama ke patron atau aturan baru yang lebih berterima dengan situasi dan kondisi, sedangkan rekreasi adalah pembuatan atau penciptaan produk budaya yang baru dengan berlandaskan pada produk budaya lama (Supanggah dalam Sumiyadi, 2016).&nbsp; Pola revitalisasi dapat berupa rekognisi dan identifikasi, validasi, perekaman dan dokumentasi, penyimpanan dokumen, transfer (sosialisasi, eksternalisasi, internalisasi), serta diseminasi.&nbsp;