E-book ini adalah bagian dari Modul Kurikulum Darurat Kelas 5 Tema 8 Subtema 1 Pb 5

Luh Ayu Manik Mas

Sambil makan, ia bertanya-tanya alasan harus mengurangi penggunaan plastik. Plastik banyak gunanya, misalnya untuk wadah barang-barang ketika berbelanja dan sebagai tempat canang ke sekolah saat perayaan Purnama. Tambahan pula, plastik membuat segala sesuatunya jadi lebih mudah. Selesai dipakai, tinggal buang saja ke tong sampah, tidak repot. Sepanjang waktu makan ia memikirkan tentang ini.

Luh Ayu Manik dan Putu Nita sudah berjanji akan menonton parade ogoh-ogoh bersama-sama. Pada waktunya, Luh Ayu Manik dengan cepat berhias, memakai kain, lalu pergi ke rumah Putu Nita untuk bertemu dengannya. Sesampainya mereka di jalan, ternyata jalanan sudah ramai oleh warga yang menunggu untuk menonton ogoh-ogoh. Semua orang takjub dan agak takut ketika raksasa-raksasa jahat dengan taring-taring panjang dan runcing, berambut acak-acakan, serta berkuku panjang muncul di jalan. Wajah ogoh-ogoh yang dibuat seram itu dimaksudkan agar para makhluk halus yang jahat menjadi takut. Sorak-sorai para pemuda yang memikul ogoh-ogoh diiringi meriahnya suara gamelan. Parade ogoh-ogoh kali ini sangat menarik.

Dicontohkan oleh pendongeng wayang kulit tradisional Indonesia dan dikembangkan bersama dengan komunitas dan tim artis lokal, sekolahan/pahlawan super digital kami akan melakukan percakapan dengan anak-anak, lingkungan ahli, orang tua dan orang lain di sekitar masalah lingkungan dan sosial. Luh Ayu Manik - siswi kelas 8 dari Bali yang menjelma menjadi Luh Ayu Manik Mas - adalah pahlawan super Indonesia yang berani, gesit, cepat, dan kuat yang menggunakan kekuatannya untuk membantu melestarikan alam dan budaya lingkungan Indonesia. Buku ini dibuat atas kerja sama dengan BASAbali. BASAbali adalah kolaborasi ahli bahasa, antropolog, pelajar, dan orang awam, dari dalam dan luar Bali, untuk menjaga Bali tetap kuat dan berkelanjutan. Untuk info lebih lanjut, kunjungi <a href="http://www.basabali.org/">www.basabali.org</a> "Luh Ayu Manik Mas, Pahlawan Lingkungan" ditulis oleh BASAbali Wiki, diilustrasikan oleh I Putu Supartika, diterbitkan oleh The Asia Foundation – Let’s Read. Baca, unduh, dan cetak secara cuma-cuma pada laman dan aplikasi Let’s Read. Diterbitkan dengan lisensi CC BY-NC 4.0.

Saat langit semakin gelap, semua ogoh-ogoh kembali ke tempat asalnya. Jalanan kembali lengang. Ketika Luh Ayu Manik dan Putu Nita sedang dalam perjalanan pulang, mereka kaget melihat para pemuda yang sebelumnya duduk-duduk di bale angklung tiba-tiba berhamburan lari, berteriak-teriak ketakutan dan meminta tolong. “Tolong…, tolong,” demikian Wayan berteriak-teriak. “Ada ogoh-ogoh yang bisa berjalan. Ia datang dari sungai! Wajahnya menakutkan, badannya semuanya terbuat dari plastik!”

Sepulangnya dari sekolah hari itu, ia putuskan untuk menonton televisi saja. Sambil mencari-cari tayangan yang menarik untuk ditonton, ia melihat iklan yang menarik perhatiannya. Iklan tersebut bertujuan mendorong masyarakat Bali mengurangi penggunaan tas plastik, utamanya dikarenakan ada peraturan baru terkait hal ini. Setelah menonton tayangan setelah iklan tersebut, Ia mematikan televisi dan makan.

Esoknya, sesampainya di sekolah, Luh Ayu Manik langsung menuju ke ruang kelas. Saat itulah Ia berpapasan dengan gurunya, Pak Budiadnyana. "Om Suastiastu, Pak," Luh Ayu Manik lebih dulu memberi salam. "Om Suastiastu, Luh. Kenapa, Luh?" Pak Budi membalas salam sambil bertanya. "Pak, saya hendak bertanya tentang plastik. Kemarin saya lihat di televisi, ada pesan iklan agar kita mengurangi penggunaan plastik. Kenapa begitu, Pak?" "Oh begini, Luh, sekarang pemerintah menghimbau agar kita mengurangi penggunaan plastik atau tas kresek. Oleh karena plastik itu jika dibuang sembarangan bisa menyebabkan lingkungan menjadi kotor, ikan di laut juga teracuni, dan plastik itu sulit terurai. Tidak seperti daun pepohonan yang cepat terurai,” demikian Pak Budi menjelaskan.

Kemudian raksasa plastik bermata merah tersebut hilang di kegelapan malam. Luh Ayu Manik Mas segera berubah wujud kembali menjadi Luh Ayu Manik dan memanggil temannya, Putu Nita. Mereka berdua langsung pulang dan memberitahukan kejadian itu kepada orang tuanya.

Hari berikutnya tidak ada kegiatan belajar di sekolah dikarenakan menjelang hari raya Nyepi. Luh Ayu Manik dan teman-temannya sangat bersemangat untuk melihat parade ogoh-ogoh saat Pangrupukan. Namun sebelumnya, Luh Ayu Manik disuruh ibunya berbelanja ke pasar membeli bahan banten untuk membuat caru (banten kurban dalam upacara Hindu Bali) di rumahnya. Pasar itu tidak jauh, tapi ia ingin ada teman mengobrol di jalan, dicarinya Putu Nita. Luh Ayu Manik ingat kata-kata Pak Budi tentang plastik dan memutuskan untuk membawa tas kain. Sesampainya di depan rumah Putu Nita, Luh Ayu Manik lalu memanggil, “Putu Nita, ini Luh Ayu Manik. Ayo berangkat bareng ke pasar!” Putu Nita menjawab, “Tunggu sebentar, Ayu, aku mengambil tas belanja dulu.” Lalu Putu Nita muncul membawa tas kain untuk wadah belanjaannya nanti. “Ayo berangkat! Apakah kamu juga melihat iklan tentang pengurangan penggunaan plastik? Aku mau mencoba dan melakukan yang bisa kulakukan.”

Saat perjalanan pulang dari pasar, Luh Ayu Manik dan Putu Nita menyaksikan Wayan dan Made membuang plastik. Jumlahnya sangat banyak sehingga mereka harus menggunakan mobil bergerobak. Tidak hanya sisa bahan ogoh-ogoh saja yang dibuang, tetapi juga berbagai jenis sampah, seperti botol plastik, kaleng, dan plastik pembungkus makanan. Banyaknya sampah mengakibatkan aliran sungai terhambat. Air sungai mulai meluap hingga ke tepi jalan.

Petang itu, saat matahari terbenam di langit barat, masyarakat Hindu Bali sibuk menghaturkan caru dan segehan satus kutus (banten kurban yang paling kecil, yang antara lain berisi nasi sebanyak 108 buah) di rumahnya masing-masing. Lalu mereka menyalakan api menggunakan daun kelapa kering, serta membunyikan alat seperti musik dengan keras.

“Apa yang sebaiknya dipakai untuk mengganti plastik, Pak?” tanya Luh Ayu Manik. “Ada banyak, Ayu. Jika berbelanja ke pasar, bawalah tas kain. Jika ke pura, wadahi canang dengan sokasi. Begitu pula ketika akan memohon air suci, jangan menggunakan plastik, bawalah wadah dari rumah.” Luh Ayu Manik sadar ia telah menggunakan plastik untuk semua keperluan tersebut, dan membuat perubahan dirasa mudah. “Mulai sekarang saya akan mengurangi pemakaian plastik. Saya juga akan menyampaikan hal ini kepada orang tua dan teman-teman saya.” “Iya, Ayu, Bapak berharap lingkungan kita di sini tidak telanjur tercemar oleh plastik,” Pak Budi menambahkan. “Iya, saya juga berharap begitu, Pak. Terima kasih telah memberikan saya nasihat.”

Raksasa mengerikan itu menyemburkan api pada segala benda yang dilihatnya. Raksasa itu menghanguskan tanaman dan bumi berguncang saat ia tiba-tiba maju mendekati para pemuda tadi. Bergegas Luh Ayu Manik Mas mengeluarkan senjata pedang yang bisa menyemprotkan air dan mematikan api. Para pemuda itu semuanya ketakutan dan hanya bisa menyaksikan. Saat api berhasil dipadamkan, raksasa dari plastik itu meraung, “Argh…, kalian manusia semua sama saja! Kalian membuang sampah sembarangan di sungai keramat ini. Lihatlah akibat dari perbuatan kalian sendiri! Setelah hari ini, kalian harus merawat sungai ini agar tetap bersih dan bebas polusi. Sekarang…, bersihkan tempat ini…, cepat!”

Dalam perjalanan menuju pasar, Luh Ayu Manik dan Putu Nita berhenti sejenak di depan bale angklung, bangunan khusus tempat penyimpanan perangkat angklung. Mereka lihat ada orang-orang dari kelompok pemuda di sana membuang sampah plastik ke sungai. Mereka juga melihat pemuda-pemuda itu membuang busa sisa pembuatan ogoh-ogoh.

Para pemuda tersebut lari berhamburan ke segala arah, mencari tempat bersembunyi. Luh Ayu Manik melihat sendiri wajah raksasa itu memang betul menyeramkan. Raksasa itu setinggi ogoh-ogoh, tapi seluruh badannya ditutupi plastik, busa, dan botol plastik. Matanya menyala seperti api dan lidahnya panjang sekali hingga menyentuh tanah. Taringnya panjang, runcing dan tajam. Melihat situasi itu, Luh Ayu Manik lalu menyuruh Putu Nita bersembunyi di balik semak-semak. Lalu Luh Ayu Manik mencari tempat bersembunyi untuk berubah wujud bermahkota dan berpakaian serba emas Luh Ayu Manik Mas.

“Saya di rumah biasa membakar plastik, Pak, dan hancur. Bagaimana maksud Bapak bahwa plastik butuh waktu sangat lama untuk terurai?” tanya Luh Ayu Manik. “Jika plastik dibakar, akan semakin buruk akibatnya. Menghirup asap plastik yang terbakar bisa berdampak sangat buruk bagi kesehatan kita,” jelas Pak Budi. “Oh begitu. Waduh…, berarti plastik sangat berbahaya. Saya baru tahu.” Luh Ayu Manik merasa mendapatkan sebuah pelajaran penting. Namun, ia masih punya pertanyaan.

Suatu pagi, Luh Ayu Manik terlihat sibuk mencari sesuatu di dapur. “Mencari apa, Ayu?” tanya ibunya. “Mencari plastik, Bu, untuk membungkus canang yang akan saya bawa ke sekolah,” jawabnya. “Nak, pakai saja sokasi kecil sebagai wadah, jangan memakai plastik,” saran ibunya. “Saya akan pakai tas plastik saja, Bu, agar mudah membawanya,” jawab Luh Ayu Manik. Setelah menemukan apa yang dicari, ia pun bersiap-siap berangkat ke sekolah.

Esok lusanya, pada hari Ngembak Geni, Luh Ayu Manik memanggil semua temannya untuk bersama-sama membersihkan sungai. Mereka tidak akan membiarkan raksasa itu kembali lagi.

Ia masih memikirkan pesan iklan yang dilihatnya di TV, lalu memutuskan untuk membicarakannya dengan ibunya. “Bu, tadi saya lihat di televisi, katanya kita harus mengurangi penggunaan tas plastik. Kenapa begitu? Apakah plastik itu jelek?” Dengan serius ibunya menjawab, ”Ibu tidak tahu, Ayu. Setiap hari Ibu menggunakan tas plastik juga dan sampai sekarang tidak ada masalah. Mungkin bahan yang digunakan untuk membuat plastik sudah sulit didapat.” “Oh, begitu,” kata Ayu, “Baru pertama kali ini saya mendengarnya.” Ibunya mengangguk, ”Ibu juga baru pertama kali ini mendengarnya. Cobalah besok tanyakan pada gurumu tentang hal ini.” “Baik, Bu, akan saya tanyakan,” jawab Luh Ayu Manik.